Jumat, 07 Desember 2012

ALIRAN MURJI'AH


HAKIKAT MURJI`AH MENURUT AHLUS-SUNNAH , HIZBIYYUN, DAN HARAKIYYUN

 

HAKIKAT MURJI`AH MENURUT AHLUS-SUNNAH , HIZBIYYUN, DAN HARAKIYYUN
PENGERTIAN IRJA’ DAN MURJI`AH
Al-Irja` menurut bahasa memiliki beberapa arti, yaitu: harapan, takut, mengakhirkan, dan memberikan harapan.
Al-Irja` dengan makna harapan, seperti pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Dan kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan” [an-Nisaa`:104] Maknanya, adalah kalian memiliki harapan kepada Allah yang tidak dimiliki oleh mereka.
Al-Irja` dengan makna takut, seperti pada firman-Nya:
“Mengapa kamu tidak takut akan kebesaran Allah?” [Nuh :13] Maknanya, adalah mengapa kalian tidak takut terhadap adzab Allah.
Sedangkan al-Irja` dengan makna mengakhirkan, seperti pada firman-Nya
“Beri tangguhlah ia dan saudaranya… [al-A’raaf : 111] Makna arjih di sini, ialah akhirkanlah.[1]
Adapun al-Irja` menurut istilah, adalah mengakhirkan amal dari nama iman.[2]. Sedangkan Murji’ah adalah firqah sesat yang berpendapat dan meyakini, bahwa amal tidak masuk dalam nama iman, dan bahwasanya kemaksiatan tidak membahayakan iman seseorang, sebagaimana ketaatan tidak bermanfaat terhadap kekafiran seseorang.[3]
AWAL MUNCULNYA MURJI`AH
Awal munculnya kelompok bid’ah Murji`ah, ialah setelah terjadinya fitnah Ibnul-Asy’ats pada tahun 83 H. Yang pertama kali mengatakan tentang Irja` (mengakhirkan amal dari iman), ialah Dzarr bin ‘Abdullah al-Murhabi al-Hamdani (wafat sebelum tahun 100 H). Kemudian, setelah itu muncul pendapat yang mengatakan bahwa iman hanya sebatas perkataan saja. Dan yang pertama kali mengatakannya, ialah Hammad bin Sulaiman (wafat 120 H). Dia adalah syaikhnya Abu Hanifah.[4]
MURJI`AH TERBAGI MENJADI BEBERAPA KELOMPOK
[1]. Jahmiyyah Murji`ah.
Mereka adalah yang mengatakan bahwasanya iman sebatas pengertian atau pengetahuan saja. Dan sebagian ulama Salaf telah mengkafirkannya dengan sebab kejahmiyyahan mereka.
[2]. Al-Karrâmiyyah.
Mereka adalah yang membatasi iman hanya pada perkataan dengan lisan tanpa keyakinan dalam hati.
[3]. Murji`ah Fuqaha`.
Mereka adalah yang mengatakan, iman itu keyakinan dalam hati dan perkataan dengan lisan. Namun mereka mengeluarkan amal dari nama iman.
[4]. Al-Asya’irah (al-Asy`ariyyah).
Mereka adalah yang mengatakan bahwa iman hanya sebatas pembenaran saja.
Mereka semua berada di dalam kesesatan, meskipun berbeda-beda tingkat kesesatannya.[5]
TAHDZÎR (PERINGATAN KERAS) ULAMA SALAF TERHADAP MURJI`AH
Irja` termasuk bid’ah yang keji dan mungkar. Mereka (Murji’ah) telah mengeluarkan amal dari iman. Mereka mengatakan bahwa orang yang meninggalkan amal adalah mukmin yang sempurna imannya. Mereka mengatakan tidak berbahaya bersama iman dosa bagi yang melakukannya. Mereka juga mengatakan bahwa iman sebatas perkataan dengan lisan atau sebatas pembenaran dengan hati. Para ulama salaf telah menganggap mereka sesat.
Imam az-Zuhri rahimahullah berkata,”Tidak ada perbuatan bid’ah yang diada-adakan dalam Islam yang lebih berbahaya terhadap agama daripada bid’ah ini.” Yakni bid’ah Irja’. [6]
Sa’id bin Jubair rahimahullah berkata, “Murji`ah adalah Yahudinya Ahlul-Qiblat (kaum Muslimin).” [7]
Abu Ja’far Muhammad bin ‘Ali bin al-Husain rahimahullah berkata, “Tiada malam dan siang yang lebih menyerupai Yahudi daripada Murji`ah.”[8]
IMAN MENURUT AHLUS-SUNNAH
Iman menurut keyakinan Ahlus-Sunnah, ialah perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang, dan manusia berbeda-beda di dalamnya. Dan Ahlus-Sunnah juga berpendapat bahwa iman bukan satu kesatuan yang tidak bercabang dan tidak dapat dibagi, tetapi mereka berpendapat bahwa iman itu bercabang dan dapat dibagi.
Oleh karena itu, Ahlus-Sunnah membolehkan istitsna’ dalam iman, yaitu perkataan seorang muslim, “Saya mukmin insya Allah.”
Yang dimaksud iman itu perkataan, ialah perkataan hati dan perkataan lisan.
Yang dimaksud dengan iman itu amal (perbuatan), ialah amal hati dan amal anggota badan.
Yang dimaksud dengan iman itu bertambah dan berkurang, ialah bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan dan kejahatan.
Dan yang dimaksud dengan iman itu dapat dibagi, yaitu apabila hilang sebagian dari iman dengan meninggalkan ketaatan atau melakukan kemaksiatan, maka sebagiannya lagi akan tetap ada dan tidak hilang seluruhnya.
Maka iman menurut Ahlus-Sunnah bukan merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dibagi. Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,”Adapun perkataan bahwa iman apabila hilang sebagian maka akan hilang seluruhnya, maka ini adalah terlarang. Dan ini merupakan pokok yang bercabang darinya bid’ah di dalam iman, karena mereka (Murji`ah dan yang sepertinya) mengira bahwa apabila sebagian iman hilang maka akan hilang seluruhnya dan tidak tersisa sedikit pun darinya… Dan nash-nash dari Rasulullah n dan para sahabatnya menunjukkan hilangnya sebagian iman dan menetapnya sebagian lainnya, seperti sabdanya:
“Akan keluar dari neraka, orang yang masih ada iman seberat dzarrah di dalam hatinya” [9]
Oleh karena itu, Ahlus-Sunnah dan Hadits berpendapat bahwa iman itu bertingkat-tingkat.[10]. Dan menurut pendapat Ahlus-Sunnah, iman bukan satu kesatuan dan tidak dapat dibagi, maka mereka membolehkan istitsna’ di dalam iman, seperti perkataan seorang muslim, “Saya mukmin insya Allah”. Dan itu karena beberapa hal:
[a]. Memandang kepada ketakutan ia tidak bisa datang dengan iman yang sempurna yang diinginkan Allah.
[b]. Memandang kepada penghindaran diri dari penyucian jiwa.
Di dalam masalah istitsna’ (perkataan “saya mukmin insya Allah”), terdapat tiga pendapat.
Pendapat Pertama. Istitsna’ hukumnya wajib. Barangsiapa yang tidak melakukan istitsna’, maka dia adalah seorang mubtadi’ (ahli bid’ah).
Pendapat Kedua. Istitsna’ hukumnya makruh karena ia menuntut (mengindikasikan) keraguan dalam iman.
Pendapat Ketiga. Dan ini perkataan yang paling tengah dan paling adil, bahwa istitsna’ hukumnya boleh dengan pertimbangan dan meninggalkannya juga dengan pertimbangan.
Apabila maksudnya, adalah “sesungguhnya saya tidak mengetahui apakah saya sudah mengerjakan semua yang telah diwajibkan Allah kepada saya, dan apakah Allah menerima semua amal saya”, bukan dengan maksud meragukan apa yang ada dalam hatinya, maka istitsna’ yang dilakukannya adalah baik, dan tujuannya agar ia tidak memuji dirinya serta tidak memastikan bahwa ia telah melakukan semua amalan seperti yang diperintahkan, lalu amalnya pasti diterima, padahal dosanya banyak, dan kemunafikan mengkhawatirkan umumnya manusia.[11]
Ayat-ayat yang menunjukkan bahwa iman itu perkataan dan perbuatan, antara lain firman Allah Ta’ala:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Allah. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati” [al-Baqarah :277]
Juga firman-Nya.
“Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang shalih, Kami tidak memikulkan kewajiban kepada diri seseorang melainkan sekedar kesanggupannya, mereka itulah penghuni surga; mereka kekal di dalamnya.” [al-A’raaf :42]
Sedangkan ayat-ayat Al-Qur-an yang menunjukkan bahwa iman bertambah dan berkurang, antara lain adalah firman Allah Ta’ala.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal” [al-Anfaal :2].
Juga firman-Nya.
“Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: “Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?” Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira” [at-Taubah :124] [12]
IMAN MENURUT MURJI’AH
Murji`ah berpendapat, bahwa iman merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dibagi, iman juga tidak bertambah dan berkurang, tidak sah istitsna’ dalam iman, dan amal bukan bagian dari iman. Mereka juga berpendapat, melakukan dosa besar dan meninggalkan kewajiban tidak menghilangkan iman sedikit pun. Karena apabila hilang darinya sedikit saja, maka tidak akan tersisa sedikit pun dari iman, dan jadilah iman itu satu kesatuan yang sama antara orang baik dan jahat.[13]
KEDUDUKAN AMAL TERHADAP IMAN MENURUT AHLUS-SUNNAH DAN FIRQAH-FIRQAH SESAT
Kedudukan amal terhadap iman menurut Ahlus-Sunnah, sebagai berikut.
[1]. Seseorang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya hingga ia meyakini agama Islam dalam hatinya dengan keyakinan yang pasti dan bersih dari keragu-raguan.
[2]. Seseoeang tidak cukup beriman dengan pembenaran dan keyakinan saja, sehingga ia menyertainya dengan amal hati berupa pengagungan, pemuliaan, tunduk, cinta, dan loyal terhadap Allah dan Rasul-Nya.
[3]. Seseorang tidak dianggap beriman, sehingga ia datang dengan penetapan dan perkataan dengan lisan. Karena sesungguhnya, jika ia tidak berbicara dengan iman padahal ia mampu mengucapkannya, maka itu menunjukkan tidak ada iman dalam hatinya yang telah Allah wajibkan atasnya.
[4]. Setelah itu, sepatutnya seseorang yang beriman itu mengamalkan dengan anggota badan.
Pendapat Ahlus-Sunnah dan firqah-firqah yang sesat tentang kedudukan amal terhadap iman, ialah sebagai berikut.
Murji`ah. Mereka mengeluarkan amal dari iman, dan tidak berbahaya bagi seorang muslim meninggalkan amal. Bahkan menurut mereka, ia sebagai mukmin yang sempurna imannya, karena iman menurut sebagian besar kelompok mereka hanya sebatas pembenaran.
Khawarij dan Mu’tazilah. Mereka menjadikan amal sebagai syarat sahnya iman. Khawarij mengkafirkan orang yang meninggalkannya, sedangkan menurut Mu’tazilah ia berada pada kedudukan di antara dua kedudukan (manzilatun bainal-manzilataini).
Ahlus-Sunnah. Mereka menjadikan amal sebagai rukun dari rukun-rukun keimanan. Mereka tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan empat rukun selain syahadat tanpa mengingkari kewajibannya. Dan mereka menyebutnya mukmin yang kurang imannya, dan ia berada di bawah kehendak Allah.
Perbedaan Yang Bersifat Khusus Antara Ahlus Sunnah Dan Murji`ah Dalam Masalah Iman, Terdapat Pada Tiga Masalah.
Masalah Pertama. Ahlus-Sunnah berpendapat bahwa amal perbuatan masuk ke dalam nama iman, sedangkan Murji’ah tidak berpendapat demikian.
Imam Sufyân ats-Tsauri rahimahullah berkata,“Murji`ah menyelisihi kita dalam tiga hal. (1) Kita mengatakan ‘iman adalah perkataan dan perbuatan,’ sedangkan mereka mengatakan, ‘iman adalah perkataan tanpa amal’. (2) Kita mengatakan, ‘iman bertambah dan berkurang,’ sedangkan mereka mengatakan, ‘iman tidak bertambah dan tidak berkurang’. (3) Kita mengatakan ‘kami beriman dengan menetapkan (iqrar),’ sedangkan mereka mengatakan, ‘kami beriman di sisi Allah’.” [14]
Masalah mengeluarkan amal dari iman merupakan pegangan pokok pendapat Murji`ah, dimana mereka semua sepakat tentang masalah itu. Oleh karena itu, Imam al-Barbahari rahimahullah (wafat 329 H) berkata, “Barangsiapa yang berkata bahwa iman adalah perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang, maka sungguh ia telah keluar dari irja` (Murji`ah) dari awal sampai akhir.” Artinya, ia bukan orang Murji`ah.[15]
Masalah Kedua. Ahlus-Sunnah tidak menetapkan dengan pasti terhadap seseorang dari kaum Muslimin dengan keimanan yang sempurna, dan tidak pula menafikan (meniadakan) pokok iman darinya.
Sedangkan Murji`ah menjadikan setiap orang yang mewujudkan pokok keimanan sebagai seorang mukmin yang sempurna imannya. Bahkan mereka (Murji`ah) menjadikan orang yang fasiq sebagai seorang mukmin yang sempurna imannya.
Ini yang dimaksud oleh Imam Sufyân ats-Tsauri rahimahullah pada masalah pertama: “Kami beriman dengan iqrar, sedangkan mereka (Murji`ah) mengatakan “kami beriman di sisi Allah”.[16]
Masalah Ketiga. Ahlus-Sunnah membolehkan memberi istitsna’ pada keimanan yang sempurna (maksudnya mengucapkan,“Saya beriman, insya Allah”) dan melarang hal itu pada pokok keimanan. Mereka tidak memberi kesaksian atas diri mereka dengan keimanan yang sempurna, namun mereka tidak meragukan pokok keimanannya.
Adapun Murji’ah, mereka mengharamkan istitsna’ (mengucapkan insya Allah) dalam iman, karena didasari pendapat mereka bahwa iman adalah sesuatu yang satu, yaitu pembenaran hati. Mereka menamakan orang yang memberi istitsna’ sebagai orang yang ragu-ragu (dalam keimanan).[17]
Ada ulama yang menambahkan dari apa yang disebutkan di atas mengenai perbedaan antara Ahlus-Sunnah dan Murji`ah. Bahwasanya Murji`ah berpendapat, orang yang meninggalkan rukun yang empat selain syahadat tidak kafir. Mereka menyebutnya sebagai mukmin yang sempurna imannya. Sedangkan Ahlus Sunnah tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan rukun yang empat, dan mereka menyebutnya sebagai fasiq dan pelaku dosa besar.
Adapun dalil-dalil yang menyatakan bahwa orang yang meninggalkan empat rukun lainnya tidak kafir dan tidak kekal di neraka, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhâri dari Abu Sa’id al-Khudri rahimahullah dalam hadits syafa’at: Allah Yang Maha Perkasa berfirman,”Syafa’at-Ku masih tersisa,” lalu Allah mengambil segenggam dari neraka, maka Dia mengeluarkan beberapa kaum yang sudah terbakar… -sampai perkataan Rasulullah-, “Kemudian mereka masuk ke dalam surga, lalu ahli surga berkata,”Mereka adalah orang yang dibebaskan Allah Yang Maha Pengasih. Allah memasukkan mereka ke dalam surga tanpa amal yang mereka kerjakan dan tanpa kebaikan yang mereka lakukan”.
Dalam riwayat Muslim disebutkan:
Maka Allah Azza wa Jalla berfirman,”Para malaikat telah memberikan syafa’at, para nabi telah memberikan syafa’at, dan orang-orang yang beriman telah memberikan syafa’at. Tidak ada yang tersisa kecuali syafa’at Rabb Yang Maha Penyayang di antara para penyayang,” maka Allah mengambil segenggam dari neraka, lalu keluarlah satu kaum yang belum pernah mengerjakan kebaikan sedikit pun… [18]
CIRI-CIRI MURJI`AH YANG PALING MENONJOL
Murji`ah memiliki sekian banyak ciri, dan ada beberapa ciri yang paling menonjol, di antaranya sebagai berikut.
[1]. Mereka berpendapat, iman hanya sebatas penetapan dengan lisan, atau sebatas pembenaran dengan hati, atau hanya penetapan dan pembenaran.
[2]. Mereka berpendapat, iman tidak bertambah dan tidak berkurang, tidak terbagi-bagi, orang yang beriman tidak bertingkat-tingkat, dan iman semua orang adalah sama.
[3]. Mereka mengharamkan istitsn` (mengucapkan ‘saya beriman insya Allah’) di dalam iman.
[4]. Mereka berpendapat, orang yang meninggalkan kewajiban dan melakukan perbuatan haram (dosa dan maksiat) tidak berkurang imannya dan tidak merubahnya.
[5]. Mereka membatasi kekufuran hanya pada pendustaan dengan hati.
[6]. Mereka mensifati amal-amal kekufuran yang tidak membawa melainkan kepada kekufuran, seperti menghina dan mencela (Allah, Rasul-Nya, maupun syari’at Islam); bahwa hal itu bukanlah suatu kekufuran, tetapi hal itu menunjukkan pendustaan yang ada dalam hati.[19]
CIRI-CIRI MURJI’AH MENURUT AHLI BID’AH TERDAHULU
Dahulu para ahli bid’ah –dari kalangan Khawarij dan selainnya- menuduh Ahlus-Sunnah wal- Jama’ah dengan irja`, dikarenakan perkataan mereka (Ahlus-Sunnah) bahwa pelaku dosa besar tidak dikafirkan, kecuali jika dia menghalalkan perbuatan tersebut. Dan mereka berpendapat, orang yang meninggalkan shalat karena malas atau meremehkannya tidaklah kafir yang dapat mengeluarkannya dari agama.[20]
Di antara dali-dalil yang menunjukkan hal itu ialah sebagai berikut.
Pertama. Atsar yang dikeluarkan Ishaq bin Rahawaih dari Syaibân bin Farrûkh, ia berkata: “Aku bertanya kepada ‘Abdullah Ibnul-Mubârak: ‘Apa pendapatmu tentang orang yang berzina dan meminum khamr atau selain itu. Apakah ia dikatakan mukmin?’. ‘Abdullah Ibnul Mubârak menjawab,‘Aku tidak mengeluarkannya dari iman,’ maka Syaibân berkata,‘Apakah pada saat tua nanti engkau menjadi Murji`ah?,’ lalu ‘Abdullah Ibnul-Mubârak menjawab,‘Wahai, Aba ‘Abdillah! Sesungguhnya Murji`ah tidak menerimaku, karena aku mengatakan iman itu bertambah, sedangkan Murji`ah tidak mengatakan demikian’.”[21]
Kedua. Apa yang disebutkan oleh al-Qâdhi Abul-Fadhl as-Saksaki al-Hanbali (wafat 683 H) dalam kitabnya, al-Burhân: Bahwa ada sekelompok ahlul bid’ah yang dinamakan dengan al-Mansuriyyah -mereka adalah sahabat dari ‘Abdullah bin Zaid-, mereka menuduh Ahlus-Sunnah sebagai Murji`ah, karena Ahlus-Sunnah mengatakan, orang yang meninggalkan shalat, apabila ia tidak mengingkari kewajibannya maka ia tetap seorang muslim; demikian menurut pendapat yang shahîh dari madzhab Imam Ahmad.
Mereka (ahlu bid’ah) mengatakan: “Ini menunjukkan bahwa iman menurut mereka (Ahlus Sunnah) adalah perkataan tanpa amal.”[22]
CIRI-CIRI SESEORANG TERLEPAS DARI MURJI’AH, MENURUT AHLUS-SUNNAH
Para ulama Ahlus-Sunnah telah menyebutkan sejumlah ciri yang dapat diketahui bahwa seseorang terlepas dari bid’ah Irja`, di antaranya ialah:
[1]. Mengatakan bahwa iman itu adalah perkataan dan perbuatan.
Imam Ibnul-Mubarak rahimahullah pernah ditanya: “Engkau berpendapat Irja`?,” maka ia menjawab,“Aku mengatakan bahwa iman itu perkataan dan perbuatan. Bagaimana mungkin aku menjadi Murji`ah?!”[23]
[2]. Mengatakan bahwa iman itu bertambah dan berkurang.
Imam Ahmad ditanya tentang orang yang mengatakan: “Iman itu bertambah dan berkurang,” maka ia menjawab,“Orang ini telah berlepas diri dari Irja`.”
[3]. Mengatakan bahwa maksiat mengurangi iman dan membahayakannya.
[4]. Mengatakan bahwa kekufuran dapat terjadi dengan perbuatan sebagaimana dapat terjadi dengan keyakinan dan perkataan. Dan ada di antara amal yang menjadi kufur karena melakukan amal tersebut tanpa keyakinan, dan menganggap halal perbuatan tersebut.[24]
CIRI-CIRI SESEORANG TERLEPAS DARI MURJI`AH MENURUT HIZBIYYUN DAN HARAKIYYUN
Di antara ciri seseorang terlepas dari Murji`ah menurut kaum Hizbiyyun dan Harakiyyun ialah:
[1].Mengkafirkan orang yang berhukum dengan selain hukum Allah dengan mutlak tanpa perincian yang telah disepakati oleh para salaf, Ahlus-Sunnah sejak dahulu sampai hari ini.
[2]. Mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat karena malas dan meremehkan. Dalam masalah ini terjadi khilâf (perbedaan pendapat) di kalangan ulama Ahlus-Sunnah sejak dahulu hingga hari ini. Menurut mereka, apabila seorang muslim berpendapat dengan dua pendapat tersebut, maka ia telah terlepas dari Murji`ah.[25]
TUDUHAN DUSTA TERHADAP AHLI HADITS ABAD INI, YAITU SYAIKH MUHAMMAD NASHIRUDDIN AL-ALBANI RAHIMAHULLAH
Ada sebagian orang dari kalangan hizbiyyun dan harakiyyun yang menuduh Syaikh al-Albani sebagai Murji`ah. Tuduhan ini merupakan tuduhan yang kejam, dusta, bohong, dan mengada-ada.
Syaikh al-Albani rahimahullah telah menjelaskan dalam kitab-kitabnya dan tahqîqnya tentang masalah iman, sebagaimana dipegangi para ulama salaf. Kalau kita mau membahas satu per satu dari kitab beliau, maka akan panjang pembahasannya. Tetapi saya cukupkan dengan penjelasan para ulama yang memuji beliau.
Syaikh Abdul-’Azîz bin ‘Abdullah bin Bâz rahimahullah berkata,”Aku tidak melihat di bawah kolong langit seorang yang ‘alim tentang hadits pada zaman ini, seperti al-‘Allamah Muhammad Nâshiruddin al-Albâni.”
Beliau rahimahullah juga pernah ditanya: “Siapa mujaddid (pembaharu) pada zaman ini?”
Lalu beliau menjawab, “Menurutku, Syaikh Muhammad Nâshiruddin al-Albâni. Beliaulah mujaddid (pembaharu) pada zaman ini. Wallahu a’lam.”
Syaikh bin Bâz juga pernah berkata,“Aku tidak mengetahui seorang di alam semesta yang lebih ‘alim daripada Syaikh Nâshir (al-Albani) pada zaman ini.”
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn rahimahullah pernah ditanya, tentang orang yang menuduh Syaikh al-Albâni dengan irja` (Murji’ah), maka beliau menjawab: “Barangsiapa yang menuduh Syaikh al-Albâni dengan tuduhan irja`, maka ia telah salah, – orang itu – satu di antara dua kemungkinan, (yaitu): ia tidak mengenal al-Albani atau tidak mengetahui apa itu Irja`. Al-Albâni rahimahullah seorang dari Ahlus-Sunnah dan pembela Sunnah. Dia juga seorang imam dalam bidang hadits. Aku tidak mengetahui ada seorang yang menandinginya pada zaman sekarang. Akan tetapi, sebagian orang –kami mohon kepada Allah al-‘Afiyah- timbul perasaan dengki pada hatinya. Apabila ia melihat penerimaan seseorang, mereka mulai mencela seperti perbuatan orang-orang munafik yang mencela orang-orang mukmin yang bershadaqah dan tidak mendapatkan kecuali usaha mereka. Mereka (munâfiqîn) mencela orang yang bershadaqah dengan harta yang banyak dan orang miskin yang bershadaqah. Kami mengetahui beliau (al-Albâni) rahimahullah dari buku-bukunya, dan aku mengetahuinya sebagai seorang yang memiliki ‘aqidah Salaf dan selamat manhajnya. Akan tetapi, sebagian orang ingin mengafirkan hamba Allah dengan apa-apa yang Allah tidak mengafirkan mereka dengannya, kemudian menuduh bahwa orang yang menyelisihinya dalam masalah takfir maka ia adalah Murji`ah; ini merupakan suatu kebohongan, kedustaan, dan kezhaliman. Oleh karena itu, janganlah kalian mendengar perkataan-perkataan ini dari siapa pun.”
Beliau (Syaikh ‘Utsaimin) juga berkata: “Syaikh al-Albâni seorang yang panjang langkahnya (luas ilmunya), luas pengetahuannya, dan kuat pemikirannya”. [26]
Begitu pula tuduhan hizbiyyun kepada Syaikh ‘Ali bin Hasan al-Halabi hafizhahullâh. Mereka menuduh bahwa beliau adalah “Murji`ah”?! Mereka menuduh demikian karena ada fatwa dari Lajnah Da-imah yang memperingatkan dua buku karya Syaikh ‘Ali bin Hasan, yaitu at-Tahdzîr min Fitnatit-Takfîr dan Shaihatun-Nadzîr bi Khatharit-Takfîr. Padahal fatwa ini tidak memvonis Syaikh ‘Ali sebagai Murji’ah.
Dalam masalah ini, Syaikh ‘Ali telah menjawab serta menjelaskan dalam bukunya. Beliau mengajak “polemik” kepada anggota Lajnah Da-imah dengan buku beliau yang berjudul al-Ajwibah al-Mutalâ-imah ‘alâ Fatâwa al-Lajnah ad-Dâ-imah.
Kemudian beliau membantah orang-orang yang memanfaatkan fatwa itu untuk kepentingan hawa nafsu dan membela kelompok mereka. Beliau membantah dalam bukunya yang berjudul at-Tanbîhâtul Mutawâ-imah fî Nushrati Haqqi Ajwibah al-Mutalâ-imah ‘alâ Fatâwa al-Lajnah ad-Dâ-imah setebal 610 halaman, diterbitkan oleh Maktabah Dârul-Hadîts-Daulah Imârât, Cet. I, Th. 1424 H. Beliau membantah dengan bantahan ilmiah dan menjawab tuduhan itu dengan dalil-dalil dari al-Qur`an dan as-Sunnah, perkataan ulama Salaf, dan disertai bukti-bukti akurat dan marâji’ (referensi) yang banyak. Beliau jawab satu per satu dengan rinci, ilmiah dan nukilan yang sempurna, tidak sepotong-sepotong.
Tentang fatwa Lajnah Da-imah dijelaskan dengan gamblang oleh Syaikh Dr. Husain bin ‘Abdul-’Azîz Âlu Syaikh dan Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn rahimahullah.
Dr. Hushain bin ‘Abdul Azîz Alu Syaikh –imam Masjid Nabawi dan Qadhi (hakim) di Pengadilan Tinggi Madinah Nabawiyyah- pernah ditanya berkaitan dengan fatwa Lajnah Da-imah:
Fadhilatusy-Syaikh, bagaimana pendapat Syaikh tentang fatwa yang dikeluarkan oleh Lajnah Da-imah tentang kedua kitab Syaikh ‘Ali al-Halabi: at-Tahdzîr dan Sha’ihatun Nadzîr, bahwasanya kedua kitab ini mengajak kepada pemikiran Irja`, bahwa amalan bukanlah syarat sahnya iman. Padahal kedua kitab ini tidak membahas masalah syarat sahnya iman atau syarat kesempurnaan iman?
Menghadapi pertanyaan ini, maka Syaikh Dr. Husain bin ‘Abdul Azîz Âlu Syaikh menjawab: Yang pertama, wahai saudara-saudaraku! Syaikh ‘Ali dan masyayikh lainnya satu jalan. Syaikh ‘Ali adalah saudara tua sebagaimana para masyayikh yang mengeluarkan fatwa ini. Syaikh ‘Ali mengenal mereka, dan mereka pun mengenal Syaikh ‘Ali. Mereka memiliki hubungan baik dengan Syaikh ‘Ali.
Syaikh ‘Ali telah diberi Allah ilmu dan bashirah untuk mengatasi masalah ilmiah antara dia dan masyayikh, dan masalah ilmiah ini untuk menjelaskan al-haq (kebenaran).
Adapun Syaikh ‘Ali dan gurunya –Syaikh al-Albâni- barangsiapa yang berada di atas jalan Sunnah, maka tidak ada satu pun yang meragukan bahwasanya mereka di atas manhaj yang diridhai –walillahil hamdu. Syaikh Ali –walillahil hamdu- termasuk pembela manhaj Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah.
Fatwa tersebut tidak me-nash-kan bahwa Syaikh ‘Ali sebagai Murji`ah –tidak akan beliau mengucapkan ini!- khilaf antara fatwa ini dengan Syaikh ‘Ali pada masalah kitab dan diskusi bersamanya pada perkara ini. Keberadaan orang lain yang hendak memaksakan kandungan fatwa ini, bahwasanya fatwa ini mewajibkan hukum atas Syaikh ‘Ali bahwa beliau Murji`, maka ini tidak saya pahami, dan aku menyangka bahwa saudara-saudara disini juga tidak memahami ini. Fatwa ini –walillahil hamdu- tidak menyelisihi hubungan antara Syaikh ‘Ali dan masyayikh, mereka menghormati dan menghargai Syaikh ‘Ali.
Syaikh ‘Ali telah menerangkan dengan penjelasan ilmiah (dalam kitab beliau -Ajwibah Mutalâ’imah ‘ala Fatwa Lajnah Dâ-imah) –sebagaimana dilakukan oleh Salaful-Ummah-; tidak ada seorang pun dari kita melainkan mengambil dan memberi, setiap orang diambil perkataannya dan juga dibantah, kecuali penghuni kubur ini, yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dikatakan oleh Imam Mâlik rahimahullah : “Setiap ucapan diterima dan ditolak, kecuali perkataan Rasul”.
Demikianlah umat ini, berselisih pada awalnya antara yang mengambil dan yang menolak. Tetapi manusia –dari segi asalnya- kadang-kadang di tengah-tengah ucapannya ada ucapan-ucapan lain –yaitu yang dinamakan dengan perkataan-perkataan spontan disebabkan adanya perdebatan, dan sebab tabi’at asli manusia- yang terdapat di dalamnya sedikit keras; bahkan juga di antara para sahabat Radhiyallahu ‘anhum sebagaimana terjadi antara Abu Bakar dan ‘Umar, dan antara yang lainnya dari kalangan sahabat –seperti antara ‘Aisyah dan ‘Ali Radhiyallahu ‘anhuma.
Kesimpulannya, fatwa ini –dalam pandanganku- tidak menghukumi, dan tidak menashkan dengan nash yang jelas bahwa Syaikh ‘Ali di atas manhaj Irja`. Sesungguhnya fatwa ini adalah pembicaraan tentang sebuah kitab yang ditulis oleh Syaikh. Syaikh ‘Ali telah menulis kitab (Ajwibah Mutalâ’imah) sesudah keluarnya fatwa, bukan dalam rangka membantah, tetapi menjelaskan manhajnya dan manhaj gurunya, yaitu Syaikh al-Albâni.
Yang kami yakini dan kami pertanggungjawabkan di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahwasanya Syaikh ‘Ali dan gurunya –Syaikh al-Albâni- sangat jauh di antara manusia dari madzhab Murji`ah –sebagaimana telah kami katakan sebelumnya-. Syaikh ‘Ali –demikian juga Syaikh al-Albâni- jika ditanyakan kepadanya: “Apakah definisi iman?” Tidak akan kita dapati dalam ucapannya perkataan Murji’ah yang mengatakan bahwa amalan tidak masuk dalam keimanan. Bahkan nash-nash Syaikh al-Albâni menashkan bahwa definisi iman, adalah keyakinan dengan hati, perkataan dengan lisan, dan amalan dengan anggota tubuh, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.[27]
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn ketika ditanya oleh Syaikh ‘Ali tentang fatwa Lajnah Da-imah, beliau menjawab: “Ini adalah suatu kesalahan dari Lajnah, dan aku merasa terganggu dengan adanya fatwa ini. Fatwa ini telah memecah-belah kaum Muslimin di seluruh negeri, sampai-sampai mereka menghubungiku baik dari Amerika maupun Eropa. Tidak ada yang mengambil manfaat dari fatwa ini melainkan takfiriyyun (tukang mengafirkan) dan tsauriyyun (para pemberontak).”
Beliau juga berkata: “Saya tidak suka keluarnya fatwa ini, karena membuat bingung manusia. Dan nasihatku kepada para penuntut ilmu agar tidak terlalu berpegang teguh dengan fatwa fulan atau fulan”.[28]
Saya ingatkan kepada orang-orang yang menuduh para ulama dan kaum Muslimin dengan tuduhan yang tidak benar akan sebuah hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Barangsiapa syafa’at (pertolongan)nya menghalangi had (sanksi hukum) dari hukum-hukum Allah, maka ia telah melawan Allah. Dan barangsiapa yang bertikai (bermusuhan) dalam kebathilan padahal dia mengetahuinya, maka ia berada dalam kemurkaan Allah sampai ia melepasnya. Dan barangsiapa yang menuduh seorang mukmin dengan tuduhan yang tidak ada padanya, maka Allah akan menempatkannya dalam radghatul khabal sampai ia keluar dari perkataannya (bertaubat). [29]
Makna radghatul-khabal ialah cairan (keringat) penghuni neraka, sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang terdapat dalam Shahîh Muslim.[30]
Maraaji’
1). Al-Qur’an dan terjemahannya, terbitan DEPAG.
2). Shahîh al-Bukhâri.
3). Shahîh Muslim.
4). Musnad Imam Ahmad bin Hanbal.
5). Sunân Abi Dawud.
6). Sunân at-Tirmidzi.
7). Sunân an-Nasâ-i.
8). Al-Mustadrak ‘alash Shahîhain, karya Imam al-Hakim.
9). Kitâbus Syarî’ah, karya Imam al-Ajurri.
10). Syarhus Sunnah, karya Imam al-Baghawi.
11). Syarhus Sunnah, karya Imam al-Barbahari.
12). As-Sunnah, karya Imam Abu Bakar al-Khallal.
13). Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, karya Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani.
14). Al-Îmân, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, takhrij Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.
15). Al-Milal wan Nihal, karya asy-Syahrastani.
16). Al-Farqu bainal Firaq, karya Abdul Qahir al-Baghdadi.
17). Maqalât Islamiyyîn wakhtilâful Mushallîn, karya Imam Abul Hasan al-Asy’ari.
18). Majmû’ Fatâwa, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
19). Syarh Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah, karya Imam al-Lalikâ-i.
20). Syarah Aqîdah ath-Thahâwiyyah, karya Imam Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi tahqiq para ulama dan takhrij Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.
21). At-Takfîr wa Dhawâbithuhu, karya Syaikh Dr. Ibrâhim ar-Ruhaili.
22). Dirâsât fil Ahwâ’, karya Syaikh Dr. Nâshir bin Abdul Karîm al-‘Aql.
23). Wasathiyyah Ahlis Sunnah, karya Syaikh Muhammad Bakarim bin Muhammad Ba’abdullah.
24). Firaq Mu’âhirah, karya Ghâlib bin Ali ‘Awâji.
25). Mujmal Masâ-ilil Îmân wal Kufr al-‘Ilmiyyah fi Ushûl al-‘Aqîdah as-Salafiyah, Syaikh Musa Âlu Nashr, Syaikh ‘Ali Hasan al-Halaby al-Atsary, Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaly, Masyhur Hasan Alu Salman, Husain bin ‘Audah al-‘Awaisyah, Baasim bin Faishal al-Jawabirah, cet. II-Markaz Imam al-Albany.
26). Murji`atul ‘Ashr, karya Syaikh Dr.Khâlid bin ‘Ali al-Anbari.
27). Fatâwâ ‘Ulamâ al-Akâbir fîmâ Uhdira min Dimâ-in fil Jazâ-iri, karya Abdul Malik Ramadhan al-Jazâ-iri.
28). At-Tanbihâtul Mutawâ-imah fii Nushrati Haqqi al-Ajwibatil Mutalâ-imah ‘alaa Fatwaa al-Lajnah ad-Dâ-imah, karya Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid.
29). Ar-Raddul Burhâni Fintishâri lil ‘Allâmah al-Imam asy-Syaikh al-Muhaddits Muhammad Nâshiruddin al-Albâni. Karya Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabi.
30). At-Ta’rîf wat Tanbi-`ah bi Ta-shîlât al-‘Allâmah asy-Syaikh Muhammad Nâshiruddin al-Albâni rahimahullaah fî Masâ-ilil Imân war Raddi ‘alal Murji-`ah, karya ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid.
31). Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah, oleh Yâzid bin Abdul Qadir Jawas, cet. IV-Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Jakarta.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XI/1428H/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo]
___________
Foote Note
[1]. Lihat al-Milal wan Nihal (hal. 139) dan Firaq Mu’ashirah (III/1071-1072)
[2]. Lihat al-Farqu Bainal Firaq (hal.151) dan Wasathiyyah Ahlis Sunnah (hal.294)
[3]. Lihat an-Nihayah fi Gharibil Hadits (II/206) oleh Imam Ibnul Atsir rahimahullah
[4]. Lihat Dirasat fil Ahwa (hal. 248)
[5]. Lihat Majmu Fatawa (VII/543-548) dan Mujmal Masa’il Iman (hal. 51-520
[6]. Lihat Asy-Syari’ah (II/676-677, no. 295)
[7]. Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah (V/1061, no. 1809)
[8]. Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah (V/1064, no. 1815). Lihat Murji’atul Ashr (hal. 27-28)
[9]. HR At-Tirmidzi (no. 2598), An-Nasa’i (VIII/112-113), dan Ahmad (III/94), dari Sahabat Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu
[10]. Al-Iman (hal. 210) oleh Syaikhhul Islam Ibnu Taimiyah
[11]. Lihat Majmu Fatawa (XIII/40-41)
[12]. Lihat Murjia’tul Ashr (hal. 29-35)
[13]. Lihat Majmu Fatawa (XII/471, XIII/38,55), At-Takfir wa Dhawabithuhu (hal.21), dan Murji’atul Ashr (hal.36-37)
[14]. Syarhus Sunnah (I/41) oleh Imam Al-Baghawi rahimahullah
[15]. Syarhus Sunnah (hal.123, no. 1610 tahqiq Khalid bin Qasim Ar-Raddadi
[16]. Lihat At-Takfir wa Dhawabithuhu (hal. 27)
[17]. Lihat Majmu Fatawa (VII/429) dan Syarah Aqidah Ath-Thahawiyyah (hal. 351-353)
[18]. HR Al-Bukhari (no. 7439) dan Muslim (no. 183), dari Shahabat Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu. Lihat Murjiatul Ashr (hal. 38-42)
[19]. Lihat Murji’atul Ashr (hal. 54)
[20]. Tentang masalah seseorang bisa menjadi kafir, lihat makalah penulis di majalah As-Sunnah, edisi 03/Tahun XI/1428H/2007M (hal. 34-42)
[21]. Musnad Ishaq (III/670), dinukil dari Murji’atul ashr (hal.56)
[22]. Lihat Murji’atul Ashr (hal.56-57)
[23]. As-Sunnah (III/566) oleh Imam Abu Bakar Al-Khallal
[24]. Lihat Murji’atul Ashr (hal. 60). Lihat poin I (Ciri-ciri Murji’ah Menurut Ahlul Bid’ah Terdahulu)
[25]. Lihat Murji’atul Ash (hal.62)
[26]. Lihat Fatawa Ulama Al-Akabir (hal. 6-7)
[27]. Lihat At-Tanbihat Al-Mutawaimah (hal. 553-557)
[28]. At-Ta’rif wat Tanbi-ah (hal. 15)
[29]. HR Abu Dawud (no. 3597), Al-Hakim (II/27) dan Ahmad (II/70) dari Sahabat Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma. Hadits ini shahih, lihat Silsilah Al-Hadits Ash-Shahihah (no. 437)
[30]. Lihat Shahih Muslim (no. 2002 (72) dan Shahih At-Targhib wa Tarhib (II/545-546)

Tidak ada komentar: